TUGAS
SISTEM
INFORMASI AKUNTANSI
(BALANCED
SCORECARD)
Dosen Pengampu : Bapak Teguh Widodo A. SE, Msi,Akt
Disusun Oleh :
Nama: Nim
Muchamad
Riyanto 121020312
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS WAHID HASYIM
SEMARANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
Kartu skor berimbang (bahasa
Inggris: balanced scorecard, BSC) adalah suatu konsep untuk
mengukur apakah aktivitas-aktivitas operasional suatu perusahaan
dalam skala yang lebih kecil sejalan dengan sasaran yang lebih besar dalam hal
visi dan strategi. BSC pertama kali dikembangkan dan digunakan pada perusahaan Analog Devices pada tahun 1987. Dengan tidak
hanya berfokus pada hasil finansial melainkan juga masalah manusia, BSC
membantu memberikan pandangan yang lebih menyeluruh pada suatu perusahaan yang
pada gilirannya akan membantu organisasi untuk bertindak sesuai tujuan jangka
panjangnya. Sistem manajemen strategis membantu manajer untuk
berfokus pada ukuran kinerja sambil menyeimbangkan sasaran finansial dengan
perspektif pelanggan,
proses, dan karyawan.
Pada tahun 1992, Robert S. Kaplan dan David P. Norton mulai
mempublikasikan kartu skor berimbang melalui rangkaian artikel-artikel jurnal
dan buku The Balanced Scorecard pada tahun 1996. Sejak
diperkenalkannya konsep aslinya, BSC telah menjadi lahan subur untuk
pengembangan teori dan penelitian, dan banyak praktisi yang telah menyimpang
dari artikel asli Kaplan dan Norton. Kaplan dan Norton sendiri melakukan
tinjauan ulang terhadap konsep ini satu dasawarsa kemudian berdasarkan
pengalaman penerapan yang mereka lakukan.
Balanced
Scorecard membantu organisasi untuk menghadapi dua masalah fundamental:
mengukur performa organisasi secara efektif dan mengimplementasikan strategi
dengan sukses. Secara tradisional, pengukuran terhadap bisnis berkisar pada
aspek finansial, yang kemudian banyak mendatangkan kritik. Ukuran finansial
tidaklah konsisten dengan lingkungan bisnis saat ini, punya daya prediktif yang
lemah, mengakibatkan munculnya silo fungsional, menghambat cara berpikir jangka
panjang, dan tidak lantas bisa relevan bagi kebanyakan level organisasi. Mengimplementasikan
strategi secara efektif menjadi permasalahan tersendiri. Setidaknya terdapat
empat pembatas implementasi strategi di organisasi: pembatas visi, pembatas
orang, pembatas sumberdaya, dan pembatas manajemen.
Balanced
Scorecard memberi organisasi elemen yang dibutuhkan untuk berpindah dari
paradigma ‘melulu finansial’ menuju model baru yang mana hasil Scorecard
menjadi titik awal untuk me-review, mempertanyakan, dan belajar tentang
strategi yang dipunya. Balanced Scorecard akan menerjemahkan visi dan strategi
ke dalam serangkaian ukuran koheren dalam empat perspektif yang berimbang. Kita
akan dengan cepat bisa dapatkan informasi untuk dipertimbangkan lebih dari
sekedar ukuran finansial.
Konsep keseimbangan dalam Balanced Scorecard terkait
pada tiga area berikut:
- Keseimbangan antara indikator keberhasilan finansial dan non finansial. Balanced Scorecard sendiri awalnya dibuat untuk mengatasi kekuranghandalan ukuran performa finansial dengan menyeimbangkannya dengan pemicu lain untuk performa yang mengacu ke masa depan. Ini adalah masih terus menjadi prinsip dari sistem Balanced Scorecard ini.
- Keseimbangan antara konstituen internal dan eksternal dari organisasi. Shareholder dan pelanggan merepresentasikan konstituen eksternal dalam Balanced Scorecard, sementara karyawan dan proses internal merepresentasikan konstituen internal. Balanced Scorecard berusaha menyeimbangkan kebutuhan kedua grup yang tak jarang menjadi kontradiktif satu sama lain untuk bisa secara efektif mengimplementasikan strategi.
- Keseimbangan antara indikator performa lag dan lead. Indikator lag secara umum merepresentasikan performa masa lalu. Contohnya semisal saja kepuasan pelanggan atau revenue. Meskipun ukuran tersebut pada umumnya cukup obyektif dan bisa diakses dengan mudah, namun mereka semua punya daya prediktif yang lemah. Sementara itu indikator lead adalah pemicu performa yang membawa pada pencapaian indikator lag. Indikator ini biasanya berbentuk ukuran atas proses dan aktivitas. Pengiriman tepat waktu, semisal, bisa merepresentasikan indikator lead untuk ukuran lag kepuasan pelanggan. Suatu scorecard harus berisi campuran/paduan antara indikator lag dan lead. Indikator lag yang tanpa disertai oleh ukuran lead tidak akan mengkomunikasikan bagaimana target akan diraih. Sebaliknya, indikator lead tanpa ukuran lag akan menghasilkan perkembangan jangka pendek namun tidak tampak bagaimana perkembangan tersebut berdampak pada peningkatan benefit bagi pelanggan dan juga shareholder.
BAB II
PEMBAHASAN
KONSEP DAN STRATEGI BALANCED SCORECARD
The Balanced Scorecard
(BSC) telah mengubah kinerja banyak perusahaan di seluruh penjuru dunia. Sejak
1992, sistem manajemen kinerja ini telah membantu banyak manajemen puncak
menentukan tujuan dan strategi perusahaan dan menerjemahkannya secara konkret
ke dalam suatu set cara pengukuran. Apa yang telah membuatnya begitu sukses
adalah bahwa BSC mampu menerjemahkan strategi ke dalam sebuah proses yang bukan
hanya menjadi milik manajemen puncak, namun juga setiap individu pada setiap
level di dalam perusahaan. Setiap pegawai megetahui bukan hanya “apa” yang
harus dilakukannya, namun juga “mengapa” dia melakukan itu. Namun yang lebih
penting lagi adalah bahwa BSC tidak melulu memandang strategi dalam kaitan
aspek finansial semata, namun juga aspek tiga “tambahan” lain yaitu: 1)
hubungan dengan pelanggan, 2) proses internal, serta 3) pembelajaran dan
pertumbuhan.
Banyak pihak percaya,
bahwa ketiga aspek tambahan tersebut bukanlah hal yang benar-benar baru. Namun
sebagai sebuah kerangka pemikiran, dunia harus mengakui bahwa Robert S. Kaplan,
seorang profesor akunting pada Harvard Business Shool, beserta David P. Norton,
seorang konsultan teknologi informasi, yang telah berjasa merumuskan konsep
pemikiran tersebut sehingga menjadi sebuah sistem yang dapat menjadi acuan bagi
perusahaan-perusahaan yang ingin menerapkan sistem ini secara sistematis.
Konsep itu sendiri
merupakan pemikiran yang tidak statis dan tidak pula bersifat sekali-jadi.
Sejak pertama kali muncul dalam artikel di Harvard Business Review pada edisi
Januari-Februari 1992, Kaplan dan Norton secara evolutif berdasarkan
bukti-butkri empirik dari pengalaman-pengalaman perusahaan-perusahaan yang
disurvey dalam penerapan konsep ini, telah memoles dan mempertajam konsep ini
dari tahun ke tahun hingga yang mutakhir konsep ini semakin lengkap dengan
konsep Strategy-focused Organisation (SFO). Tulisan ini berusaha
memotret dan mengintegrasikan evolusi pemikiran Kaplan dan Norton tersebut dari
sumbernya yang asli, yaitu artikel-artikel dan buku-buku yang ditulis oleh
mereka berdua terkait dengan BSC.
2.1.Balanced
Scorecard sebagai Sistem Pengukuran yang
Mengarahkan Kinerja
Kaplan dan Norton
(1992) mengatakan kepada para eksekutif senior: “What you measure is what you
get“. Secara singkat ungkapan tersebut ingin mengatakan bahwa sistem pengukuran
kinerja betul-betul akan mempengaruhi kinerja dan perilaku individu-individu di
dalam perusahaan. Masalahnya, perspektif apa saja yang perlu diperhatikan dalam
pengukuran kinerja? Ketika awal era industrialisasi, secara tradisional orang
merasa cukup dengan ukuran-ukuran akuntansi keuangan seperti return on
investment (ROI) atau earnings per share (EPS). Namun pengukuran perspektif
keuangan saja ternyata tidak memuaskan. Orang juga mulai memerlukan informasi
yang berkaitan dengan kinerja operasional. Bahkan ada sebagian orang yang
mengatakan “Lupakan saja pengukuran perspektif keuangan. Fokuskan upaya pada
perbaikan operasional seperti siklus waktu dan tingkat kerusakan produk. Pada
akhirnya ini akan berdampak juga pada perspektif finansial.”
Jelas bahwa pengukuran
tunggal tidak lagi mencukupi. Ibarat seorang sopir yang tengah mengendarai
mobil, tidak cukup dengan dashboard yang hanya menunjukkan pengukuran bahan
bakar. Dia juga memerlukan petunjuk pengukuran kecepatan, temperatur mesin,
putaran mesin, dan sebagainya. Inilah yang kemudian melatarbelakangi Kaplan dan
Norton merumuskan konsep pengukuran kinerja yang dinamakan The Balanced
Scorecard (BSC). Keseimbangan (balanced) di sini menunjuk pada adanya
kesetimbangan pada perspektif-perspektif yang akan diukur, yaitu antara
perspektif keuangan dan perspektif nonkeuangan sebagai berikut:
- Perspektif pelanggan, yaitu untuk menjawab pertanyaan bagaimana customer memandang perusahaan.
- Perspektif internal, untuk menjawab pertanyaan pada bidang apa perusahaan memiliki keahlian.
- Perspektif inovasi dan pembelajaran, untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan mampu berkelanjutan dan menciptakan value.
- Perspektif keuangan, untuk menjawab pertanyaan bagaimana perusahaan memandang pemegang saham.
Kaplan dan Norton
menggambarkan keseimbangan hubungan-hubungan perspektif pengukuran-pengukuran
tersebut sebagai berikut:
Selanjutnya Kaplan dan
Norton memberikan contoh tujuan-tujuan dan pengukuran kinerjanya untuk keempat
perspektif tersebut pada sebuah perusahaan manufaktur sebagai berikut:
Terlihat dalam contoh
tersebut, bagaimana pengukuran secara spesifik dihubungkan pada tujuan-tujuan
perusahaan. Pada umumnya misi perusahaan berbicara secara umum mengenai
pelanggan. Namun dengan BSC, tujuan dan pengukurannya dibuat dengan lebih rinci
dengan memperhitungkan ekspekstasi pelanggan terkait dengan waktu, kualitas,
kinerja produk, dan biaya. Demikian pula dengan proses internal, secara rinci
memusatkan pada kompetensi inti, proses, keputusan, serta tindakan-tindakan
yang berpengaruh pada kepuasan pelanggan. Sedangkan inovasi dan pembelajaran
menunjukkan keberhasilan masa depan. Perspektif ini mengukur perbaikan
terus-menerus terhadap produk dan proses yang sedang berjalan yang memunculkan
produk-produk baru serta meningkatkan kemampuan perusahaan.
Dengan kombinasi
berbagai perspektif tersebut, menjadikan pengukuran kinerja bukan lagi semata
domain dari direktur keuangan atau controller, namun juga orang-orang di lini
bisnis yang mengetahui secara persis operasional yang berlangsung dalam
perusahaan. Juga, pengukuran bukan lagi bersifat satu arah dan bertujuan
sebagai pengendalian, namun bersifat multi arah dimana setiap bagian dan
individu dalam perusahaan mengetahui visi perusahaan dan tujuan pada setiap
level serta menetapkan sistem yang membantunya mengukur kinerja yang harus
dilakukan dalam mencapai visi dan tujuan tersebut. Inilah mengapa BSC menjadi
sistem pengukuran yang mendorong kinerja.
2.2.Balanced
Scorecard sebagai Sistem Manajemen Strategik
Penerapan BSC dari
tahun ke tahun mengalami pengayaan manajerial. Banyak perusahaan yang
menerapkan konsep ini mendapatkan manfaat bahwa adanya gap antara strategi
jangka panjang dengan tindakan jangka pendek yang selama ini ada dapat diatasi
dengan BSC. Selama ini sebagian besar sistem pengendalian manajemen didasarkan
pada pengukruan dan target finansial, yang jarang sekali terkait dengan jangka
panjang. Sementara, menurut Kaplan dan Norton (1996a), BSC membantu manajemen
melakukan empat proses manajemen baru yang menghubungkan antara startegi jangka
panjang dengan tindakan jangka pendek. Keempat proses tersebut adalah sebagai
berikut:
Proses pertama –
menerjemahkan visi – membantu para manajer membangun suatu konsensus di sekitar
strategi dan visi organisasi. Meskipun maksud para manajemen puncak itu baik,
namun banyak pernyataan visi seperti “menjadi terbaik di kelasnya,” “menjadi
penyalur nomor satu,” atau suatu “organisasi yang diberdayakan” tidak dengan
mudah dapat diterjemahkan dengan terminologi operasional yang oleh karenanya
juga tidak mudah dilaksanakan oleh individu di dalam perusahaan. Dengan BSC,
visi dan strategi diterjemahkan dengan suatu set tujuan dan pengukuran yang
integratif, disetujui oleh para eksekutif senior dan menggambarkan arah jangka
panjang menuju sukses.
Proses yang kedua-
berkomunikasi dan menghubungkan- membantu para manajer mengomunikasikan
strategi mereka ke seluruh organisasi dan menghubungkannya ke sasaran hasil
individu dan per departemen. BSC memberikan cara bagi para manajer untuk
memastikan bahwa semua tingkatan di dalam organisasi memahami strategi jangka
panjang dan bahwa sasaran individu serta departemen tidak ‘lari’ dari strategi
tersebut.
Proses yang yang ketiga
– perencanaan bisnis- memungkinkan perusahaan untuk mengintegrasikan bisnis
mereka dengan rencana keuangan. Hampir semua organisasi menerapkan berbagai
program perubahan, bersama para ahli, guru, dan konsultan masing-masing,
bersaing untuk mendapatkan perhatian, energi, dan sumber daya dari eksekutif
senior. Para manajer mengalami kesulitan untuk mengintegrasikan prakarsa yang
berbeda itu untuk mencapai tujuan strategik mereka. Situasi seperti ini akan
mengantarkan perusahaan pada kekecewaan atas hasil program-program tersebut.
Dengan BSC, para manajer dapat melihat program mana yang dapat menjadi
prioritas sumber daya, yaitu hanya program yang mengarah pada tujuan strategik
perusahaan.
Proses yang keempat –
umpan balik dan pembelajaran- memberi perusahaan kapasitas untuk apa yang disebut
dengan pembelajaran strategik. Secara tradisional, umpan balik yang ada dan
proses review memusatkan pada apakah – perusahaan, departemen, atau individu
karyawannya sudah memenuhi target atu tujuan finansialnya. Namun dengan BSC,
suatu perusahaan dapat memonitor akibat jangka pendek dari ketiga perspektif
lainnya -pelanggan, proses bisnis internal, serta pembelajaran dan pertumbuhan-
dan mengevaluasi strategi dipandang dari sudut kinerja terakhir. BSC dengan
demikian dapat memungkinkan perusahaan memodifikasi strateginya secara real
time.
2.3.Balanced
Scorecard Menerjemahkan Visi dan Strategi Menjadi
Aksi
Di atas telah
disebutkan adanya gap antara pernyataan visi dan misi dengan kebutuhan aktual
setiap individu di dalam perusahaan untuk bertindak sesuai dengan visi dan misi
tersebut. Boleh jadi seluruh manajemen dan karyawan perusahaan menyepakati
salah satu pernyataan misi bahwa perusahaan “memberikan layanan yang prima
kepada pelanggan yang setia”. Namun bukan tidak mungkin, dalam operasional
sehari-hari terjadi perbedaan persepsi antara individu yang satu dengan yang
lain ketika harus menerjemahkan “layanan yang prima”. Atau bisa jadi, akan
terjadi perbedaan image antara individu satu dengan yang lain mengenai
“pelanggan yang setia”. Artinya, pada umumnya pernyataan visi dan misi/strategi
terlalu umum sehingga tidak memungkinkan setiap individu di dalam perusahaan
untuk bertindak secara terukur dan standar.
Dengan BSC, manajemen
senior di dalam perusahaan akan memiliki konsensus yang sama dalam penerjemahan
visi dan strategi perusahaan serta setiap individu memahami ukuran-ukuran
tindakan apa yang sesuai dengan visi dan strategi tersebut. Kaplan dan Norton
(1996a) menggambarkan penerjemahan visi dan strategi tersebut dalam gambar
berikut. Dalam gambar tersebut terlihat bagaimana visi dan strategi akan
diterjemahkan dalam keempat perspektif, masing-masing dalam bentuk tujuan,
ukuran, target, dan inistiatif untuk level perusahaan.
Selanjutnya, tujuan,
ukuran, target, dan inisitiatif pada level perusahaan tersebut akan diturunkan
lagi ke level departemen dan personal, dengan contoh sebagai berikut:
Personal scorecard ini
menjadi alat bagi perusahaan dalam mengkomunikasikan tujuannya kepada individu
atau tim yang melakukan pekerjaan di lapangan.
2.4.Balanced
Scorecard sebagai Alat Memetakan Strategi
Pada uraian di atas
telah dijelaskan bagaimana BSC menerjemahkan dan membuat keterhubungan antara
visi dan strategi perusahaan pada level yang paling atas hingga level individu
dalam bentuk tujuan-tujuan, ukuran-ukuran, target, dan inisiatif. Sampai pada
titik ini, strategi belum dieksekusi. Ibarat satu kompi pasukan yang siap
bertempur maka setiap individu dalam pasukan, dari komandan hingga anggota,
telah menyepakati dan memahami strategi apa yang digunakan dalam peperangan.
Namun untuk
mengeksekusi strategi, akan lebih baik lagi apabila strategi dimaksud dapat
divisualisasi dalam bentuk peta strategi. Sama halnya dengan yang dihadapi
pasukan tersebut, perusahaan juga memerlukan peta strategi untuk menunjukkan
pola hubungan sebab akibat di antara aspek-aspek dalam BSC secara visual.
Kaplan dan Norton (2000) menunjukkan contoh bagaimana perusahaan dapat
memetakan strategi sebagai berikut:
Peta stratetgi di atas
menunjukkan bagaimana perusahaan akan mengkonversi aset-aset yang dimilikinya
ke outcome yang diharapkan. Pada gambar tampak bagaimana pegawai memerlukan
pengetahuan, ketrampilan, dan sistem (perspektif pembelajaran dan pertumbuhan)
untuk membuat inovasi dan membangun strategi yang efisien (perspektif proses
internal) sehingga mereka dapat memberikan nilai lebih kepada pasar (perspektif
pelanggan), yang pada akhirnya akan meningkatkan return dan nilai pemegang
saham (perspektif keuangan).
2.5.Balanced
Scorecard sebagai Alat Penghubung Aset Tak
Berwujud dengan Nilai Pemegang Saham
Peta strategi yang
dibahas di atas bukan hanya menunjukkan pola hubungan sebab akibat
antarperspektif, namun lebih jauh lagi dapat menunjukkan hubungan antara aset
tak berwujud (intangible asset) dengan penciptaan nilai pemegang saham.
Kaplan dan Norton (2004) menunjukkan keterhubungan tersebut dalam peta strategi
berikut:
Sebagaimana terlihat
pada perspektif pertumbuhan dan pembelajaran pada peta strategi di atas, Kaplan
dan Norton mengidentifikasi tiga aset tak berwujud utama suatu perusahaan
yaitu: 1) Human Capital, 2) Information Capital, dan 3) Organization Capital. Ketiga
aset ini tidak ternilai dengan sistem akuntansi yang tradisional. Padahal sudah
tentu ketiga aset inilah justru yang secara kompetitif bisa menjadi keunggulan
karena sifatnya yang sulit untuk diimitasi. Ketiga aset tak beruwujud ini harus
terintegrasi dengan proses internal dan perlu dinilai seberapa kuat
kapabilitasnya dalam menciptakan nilai pelanggan yang pada akhirnya menciptakan
nilai pemegang saham.
3.
MEMBANGUN BALANCED SCORECARD
Menghubungkan
pengukuran dengan strategi merupakan inti dari keberhasilan proses pengembangan
scorecard. Untuk itu menurut Kaplan dan Norton (1993) terdapat tiga pertanyaan
kunci, yaitu:
1. Bila perusahaan berhasil mencapai visi dan
strateginya, maka bagaimana perusahaan bisa terlihat berbeda:
• di mata pemegang saham dan pelanggan?
• dalam kaitan dengan proses internal?
• dalam kaitan dengan kemapuan perusahaan untuk
menciptakan inovasi dan bertumbuh?
2. Apa faktor sukses kritikal (critical success
factors) untuk setiap perspektif dari keempat perspektif tersebut?
3. Apa pengukuran kunci yang akan memberitahu
perusahaan bahwa dia telah mencapai faktor sukses tersebut sesuai dengan yang
direncanakan?
Setiap organisasi
bersifat unik sehingga cukup sulit untuk menyamaratakan tahap-tahap
pengembangan BSC antara satu perusahaan dengan perusahaan yang lain. Namun
Kaplan dan Norton (1993) memberikan gambaran umum mengenai bagaimana projek
pengembangan BSC dapat dilakukan, sebagai berikut:
1. Persiapan
Organisasi harus
mendefinisikan terlebih dahulu unit bisnis di mana suatu scorecard level atas
akan diterapkan. Unit bisnis ini secara umum ditandai dengan adanya pelanggan,
saluran distribusi, fasilitas produksi, dan pelaporan keuangan tersendiri.
2. Interview: Putaran yang pertama
Masing-masing manajer
senior di bisnis unit -biasanya antara 6 sampai 12 eksekutif- menerima materi
yang berkaitan dengan penyusunan BSC seperti dokumen internal yang menguraikan
visi perusahaan, misi, dan strategi. Facilitator BSC (baik konsultan dari luar
maupun dari dalam perusahaan yang mengorganisir projek) melakukan wawancara
sekitar 90 menit terhadap masing-masing eksekutif senior untuk memperoleh
masukan dari mereka mengenai tujuan strategis perusahaan dan atas proposal
pengukuran BSC yang masih tentatif. Facilitator boleh juga mewawancarai beberapa
pemegang saham untuk mendapatkan pemahaman mengenai harapan mereka terhadap
kinerja keuangan perusahaan. Demikian juga terhadap beberapa pelanggan dan
pemasok utama perusahaan.
3. Workshop Eksekutif: Putaran Pertama
Sekelompok manajemen
puncak tersebut dibawa bersama-sama dengan facilitator untuk mengikuti proses
pengembangan scorecard dengan mengacu pada diagram berikut ini:
Selama workshop,
kelompok tersebut dapat berdebat mengenai statemen strategi dan misi yang
diusulkan hingga dapat dicapai sebuah konsensus. Kelompok kemudian berpindah
dari misi dan statemen strategi untuk kemudian menjawab 3 pertanyaan kunci di
atas. Dokumentasi wawancara dengan pemegang saham, pelanggan, dan pemasok dapat
disampaikan kepada kelompok tersebut untuk memberikan gambaran bagaimana
ekspektasi para stakeholder. Setelah mendefinisikan faktor sukses kunci
tersebut, kelompok kemudian merumuskan suatu BSC pendahuluan yang telah
mengandung pengukuran untuk tujuan-tujuan strategis tersebut. Seringkali,
kelompok mengusulkan jauh lebih banyak dari empat atau lima ukuran untuk
masing-masing perspektif. Pada tahap ini, tidak perlu membatasi aneka pilihan tersebut,
walaupun bisa saja kelompok langsung memutuskan ukuran-ukuran yang dipandang
memilik prioritas rendah.
4. Interviews: Putaran Kedua
Facilitator meninjau
ulang, memperkuat, dan mendokumentasikan keluaran dari workshop eksekutif di
atas dan mewawancarai masing-masing eksekutif senior tentang BSC pendahuluan
tersebut. Facilitator juga meminta pendapat tentang isu-isu yang mungkin muncul
bila BSC jadi diterapkan.
5. Workshop Eksekutif: Putaran Kedua
Workshop putaran kedua
ini tidak hanya melibatkan manajemen senior, namun juga manajemen tingkat
menengah. Kembali lagi mereka berdebat mengenai visi dan strategi perusahaan,
serta BSC pendahuluan yang telah dihasilkan dari tahap sebelumnya. Selanjutnya,
para peserta bekerja di dalam kelompok, memberikan komentar dan merencanakan
implementasinya. Pada akhir acara, peserta diminta untuk merumuskan sasaran
untuk masing-masing dari ukuran yang diusulkan, termasuk tingkat keberhasilan
yang ditargetkan demi peningkatan kinerja perusahaan.
6. Workshop Eksekutif: Putaran Ketiga
Kelompok eksekutif
senior bertemu kembali untuk mencapai sustu konsensus final mengenai vision,
tujuan, dan pengukuran yang dikembangkan dalam dua kali workshop sebelumnya;
untuk kemudian menetapkan taget untuk masing-masing ukuran; dan untuk
mengidentifikasi program tindakan persiapan untuk mencapai target. Kelompok
harus sepakat mengenai program implementasi yang akan dijalankan, termasuk
mengomunikasikan scorecard ke karyawan, mengintegrasikan scorecard ke dalam
filosofi manajemen, dan mengembangkan sistem informasi untuk mendukung
scorecard tersebut.
7. Implementasi
Suatu kelompok baru
dibentuk untuk menyusun rencana implementasi scorecard, termasuk menghubungkan
tiap ukuran dengan database dan sistem informasi, mengomunikasikan scorecard ke
seluruh organisasi, dan mendorong dan memfasilitasi pengembangan pengukuran
hingga ke level unit kerja yang lebih rendah.
8. Review berkala
Setiap triwulan,
kuartal, atau setiap bulan, laporan dari BSC disampaikan baik kepada manajemen
puncak mapun ke unit-unit kerja untuk direview, didiskusikan dan
ditindaklanjuti. Pengukuran-pengukuran BSC direview kembali setiap tahun
sebagai bagian dari perencanaan strategik, penentuan sasaran, dan alokasi
sumber daya.
4.
KELEBIHAN BALANCED SCORECARD
Yang menjadikan BSC
memiliki nilai lebih dibandingkan dengan pengukuran kinerja tradisional adalah
karena dia memiliki karakteristik sebagai berikut:
- BSC merupakan suatu turunan dari strategi dan misi perusahaan secara top-down. Sebaliknya, ukuran kebanyakan perusahaan adalah secara bottom-up: yaitu diperoleh dari aktivitas di bawah datau bersifat ad-hoc, sehingga seringkali tidak relevan dengan strategi secara keseluruhan.
- BSC bersifat memandang ke depan (forward looking). Hal tersebut memperhitungkan keberhasilan bukan hanya saat ini namun juga bagaimana perkiraannya di masa depan. Ini berbeda dengan pengukuran kinerja keuangan tradisional yang hanya menunjukkan kinerja periode yang telah lewat.
- BSC mengintegrasikan pengukuran internal dan eksternal. BSC tidak hanya mengukur net operating income, misalnya (eksternal) namun juga mengukur mengenai produk baru (internal). Ini membantu para manajer melihat di mana mereka telah melakukan trade-off di antara aspek pengukuran kinerja di masa lalu, dan membantu mereka memastikan bahwa keberhasilan masa mendatang untuk satu aspek bukan dengan merugikan aspek lainnya.
- BSC membantu perusahaan lebih fokus karena membuat para manajer mencapai kesepakatan hanya pada aspek pengukuran yang benar-benar kritikal terhadap trategi perusahaan.
- BSC memberikan pengukuran yang lebih komprehensif dan seimbang dengan memasukkan perspektif non keuangan, yang selama ini tidak diperhitungkan dalam pengukuran kinerja tradisional. Padahal sesungguhnya justru ketiga perspektif itulah yang menghasilkan apa yang diukur dalam perspektif keuangan.
- BSC memiliki perspektif yang koheren, dimana perspektif pembelajaran dan pertumbuhan akan mempengaruhi proses internal yang akan memperbaiki nilai kepada pelanggan dan pada akhirnya memperbaiki pula nilai pemegang saham.
- BSC memberikan perspektif yang semuanya terukur. Ini akan memenuhi keyakinan ‘if we can measure it, we can manage it, if we can manage it, we can achieve it’.
5.
YANG PERLU DIPERHATIKAN
Apa yang telah
diuraikan di atas adalah sejauh bagaimana perusahaan menetapkan visi dan
strategi serta penerjemahannya hingga ke level yang paling bawah di organisasi.
Sebagaimana dikritisi oleh para pengamat, di antaranya Kirby dan Schmiesing
(2003) dan diakui oleh Kaplan dan Norton dalam websitenya (www.bscol.com) , hal
tersebut di atas adalah sebuah langkah membuat strategi menjadi lebih
berkualitas. Masalahnya tidak cukup strategi hanya berkualitas, apabila
strategi tersebut tidak atau gagal dilaksanakan. Jadi lebih penting lagi adalah
langkah lain yaitu mengeksekusi strategi.
Sebagaimana presentasi
dalam websitenya ), Norton memberikan lima prinsip yang mentransformasi
BSC dari sebuah alat untuk pengukuran kinerja menjadi alat untuk menjadikan
organisasi fokus pada strategi (Strategy-focused organization). Kelima
prinsip tersebut digambarkan oleh Norton sebagai berikut:
1. Terjemahkan (translate) strategi menjadi
istilah operasional, sehingga bisa dipahami oleh setiap individu di dalam
perusahaan
2. Hubungkan (align) setiap bagian organisasi
yang berbeda-beda dengan strategi
3. Motivasi (motivate) setiap individu di
dalam organisasi dengan membuat strategi urusan setiap orang
4. Adaptasi (adapt) dan pembelajaran dengan
membuat strategi sebagai sebuah proses yang berkelanjutan
5. Mobilisasikan (mobilize) perubahan melalui
kepemimpinan yang kuat
KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan di atas dapat
disimpulkan berbagai kesimpulan penting berikut.
1.
Komitmen
menyeluruh. Komitmen dimulai dari manajemen puncak. Rumusan visi dan misi
adalah mutlak bagi satu perusahaan,
berkaitan dengan itu rumusan visi haruslah diterjemahkan ke dalam bentuk
4 perspektif yang operasional pada satu perusahaan. Dengan demikian,
diterjemahkan pula sasaran dari masing-masing perspektif. Perusahaan yang
berbeda tentu mempunyai sasaran yang berbeda, walau harus dicatat mekanismenya
tetap.
2.
Penentuan
scorecard satu bisnis bagaimanapun membutuhkan kesepakatan internal dan
eksternal. Sebagaimana kesepakatan internal maknanya adalah bahwa perusahaan
harus mempunyai komitmen untuk merealisasikannya, sebagai kesepakatan eksternal dimaksudkan untuk mengakomodasi tuntutan
pemangku kepentingan.
3.
Pengalaman
berbagai perusahaan yang menerapkan BSC
menunjukkan bahwa BSC bukan saja ukuran akan kinerja akan tetapi adalah
bagian dari strategi untuk mencapai tujuan.
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. The
Balanced Scorecard – Measures that Drive Performance. Harvard Business
Review. 1992
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. Putting
the Balanced Scorecard to Work. Harvard Business Review. January-February.
1993
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. Using
the Balanced Scorecard as a Strategic Management System. Harvard Business
Review. 1996
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. Balanced
Scorecard: Translating Strategy into Action. Terjemahan Bahasa Indonesia.
Penerbit Erlangga. 1996
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. Having
Trouble with Your Strategy? Then Map It. Harvard Business Review.
January-February. 2000
Kaplan, Robert S. and David P. Norton. Measuring
the Strategic Readiness of Intangible Assets. Harvard Business Review. 2004
Kirby, J. Philip and Sumner J. Schmiesing. Balanced
Scorecard as Strategic Navigational Charts. Organization Thoughtware
Internastional. 2003
· Cobbold, I. and Lawrie, G. (2002a). “The Development of the
Balanced Scorecard as a Strategic Management Tool”. Performance Measurement
Association 2002
· Cobbold, I and Lawrie, G (2002b). “Classification of Balanced
Scorecards based on their effectiveness as strategic control or management
control tools”. Performance Measurement Association 2002.
· Kaplan R S and Norton D P (1992) "The
balanced scorecard: measures that drive performance", Harvard Business
Review Jan – Feb pp71-80.
Website www.qpr.com
Website www.bscol.com
0 comments:
Post a Comment